Rabu, 01 April 2009

"DIALEKTIKA PESANTREN DI TENGAH ARUS GLOBALISASI"


Secara global dunia saat ini dikuasai secara hegemonik dan dominatif oleh Negara-negara adidaya dunia, Amerika Serikat dan Negara-negara barat lainnya, seperti Inggris, Prancis, Jerman, dll. Pergolakan dunia yang dikawal oleh ekonomi, militer, teknologi dan informasi adalah tantangan serius dunia Islam. Di tengah-tengah tantangan besar ini, kita dapati Negara-negara Islam tidak berdaya. Ekonomi, politik, pendidikan dan media informasi jauh di bawah standar. Ironis lagi, moralitas dan mentalitas umat sudah banyak yang terkena virus barat yang liberal, jauh dari norma dan tuntunan agama.

Realitas ini sungguh sangat menyedihkan. Umat yang katanya ya’lu wa laa yu’la ‘alaihi, namun secara faktual justru sebaliknya. Sumber utama realitas ini jelas kembali kepada SDM umat ini yang masih dilanda kebodohan. Oleh Karena itu, satu-satunya jalan cepat untuk membangkitkan umat dari keterbelakangan ini adalah optimalisasi sektor pendidikan. Lembaga ini sangat penting eksistensi dan efektifitasnya dalam rangka memompa semangat belajar anak manusia mengejar ketertinggalan untuk mencapai taraf hidup yang maju dengan tetap dalam misi menegakkan keadilan, kesetaraan dan kedamaian bagi umat manusia.

Pesantren adalah salah satu institusi pendidikan agama merupakan sebuah lembaga yang representatif dalam menghadapi globalisasi. Pembinaan moral dan mental adalah tujuan utama pesantren. Dengan moral dan mental yang baik, santri akan mampu menggali dan mengembangkan sendiri potensi keilmuan dan kemasyarakatannya secara maksimal.

Pesantren mempunyai double power yang dapat diandalkan dalam menghadapi globalisasi, yaitu kiai yang memimpin pesantren dan pesantren sendiri sebagai institusi dan sistem. Ada dua hal menurut Horikhosi, yang mengakari kekuatan kiai dan ulama: pertama, kredibilitas moral, dan kedua, kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan. Gelar ulama atau kiai diberikan oleh masyarakat muslim karena kealiman dan pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat. Selanjutnya, Ahmad Tafsir mengemukakan pesantren dalam mengontrol perubahan nilai yang juga tak lepas dari peran kiai sebagai penyaring arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, mengajarkan hal-hal yang berguna dan membuang yang merusak. Pada saat seperti itu, kemampuan kiai pesantren telah terbukti dalam mengontrol nilai dan kebudayaan. Sebetapapun derasnya arus informasi yang masuk pesantren, kiai tidak akan pernah kehilangan peranannya selama masih mampu menjaga pranata-pranata sosial dan perlunya perhatian dari tokoh-tokoh lain untuk memperkuat kiai dalam menjaga pranata-pranata itu.

Keunggulan utama pendidikan pesantren terletak pada penanaman keimanan yang tidak hanya ditempuh lewat jalur pendidikan sebagaimana di sekolah-sekolah umum. Tetapi kondisi menyeluruh kehidupan budaya pesantren juga ikut mendukung penanaman keimanan tersebut. Penanaman iman bukan ditanamkan di kepala tapi langsung di dalam hati, melalui contoh perilaku baik kiai dalam kehidupan sehari-hari dan juga didukung oleh ritual-ritual keagamaan. Oleh sebab itulah, hasil pendidikan pesantren dalam masalah keimanan ini sangat besar sekali arti maupun peranannya bagi santri. Kemampuan keimanan yang didukung berbagai pengetahuan keagamaan tentunya akan membentuk perilaku santri dalam masyarakat sesuai dengan apa-apa yang telah diajarkan oleh Islam, sehingga apa yang dikatakan Cak Nur dengan "negativisme", yaitu perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada susunan, mapan dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan dan sebagainya tak kan atau sulit terjadi. Dan orang-orang pesantren yang seperti itu justru dapat dijadikan andalan pada saat masyarakat mengalami Anomic. Wallaahu A’lam bish Shawab.

Tidak ada komentar: